Pemalang, EXPOSEE.ID – Polemik seputar pengadaan dan penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah terus menuai perhatian publik. Berita yang dimuat oleh CMI News dan media lain beberapa waktu lalu memicu gelombang respons dari ratusan wali murid yang menyampaikan keluhan dan pandangan mereka melalui Messenger resmi media tersebut. Fenomena ini mencerminkan besarnya keresahan masyarakat terhadap praktik yang dianggap membebani siswa dan orang tua secara finansial.
Hal ini dibenarkan oleh CEO CMI News, Surya mengatakan ” Benar Plaform media sosial resmi kami (CMI News) dibanjiri ratusan orangtua wali murid melalui messeger. Tak disangka ternyata masih banyak yang merasa terbebani adanya LKS tersebut. Jelasnya
Keluhan Wali Murid
Mayoritas pesan yang diterima CMI News berisi keluhan terkait kurangnya transparansi dalam pengadaan LKS. Banyak wali murid mempertanyakan kewajaran biaya yang harus mereka tanggung serta relevansi materi yang ada di LKS. Tak sedikit pula yang mengungkapkan rasa frustrasi karena merasa tidak pernah diajak berdiskusi mengenai pengadaan tersebut.
Surya menyebut, salah satu wali murid , Anita (45), menyampaikan pendapatnya melalui Messenger. “Kami sebagai orang tua tidak pernah dilibatkan dalam keputusan pengadaan LKS. Harganya cukup mahal, tapi kualitas dan manfaatnya masih dipertanyakan. Kenapa beban ini selalu jatuh kepada kami?” ungkap Surya dari keluhan wali murid.
Keluhan senada juga disampaikan oleh Ratih, wali murid lainnya. “Semester lalu kami harus membayar Rp105.000 untuk semua mata pelajaran. Dengan dua anak yang sekolah, pengeluaran ini terasa sangat besar. Praktik ini sangat merugikan kami sebagai orang tua,” ujarnya.
Respons CMI News
Menanggapi banjir keluhan tersebut, Pimpinan Redaksi CMI News, Surya Adi L, memberikan pernyataan resmi. “Kami tidak menyangka berita yang kami muat akan mendapatkan respons sebesar ini. Kami memahami keresahan para wali murid dan akan terus menggali data serta fakta untuk menyelidiki isu ini lebih dalam,” ujarnya.
Dia juga menegaskan komitmen CMI News untuk menyajikan pemberitaan yang berimbang. “Kami membuka ruang diskusi bagi semua pihak terkait – pemerintah, sekolah, dan orang tua siswa – untuk mencari solusi yang adil dan transparan,” tambahnya.
Regulasi yang Mengatur
Sejatinya, berbagai regulasi telah secara tegas melarang praktik penjualan LKS di sekolah, kata Surya. Beberapa di antaranya seperti:
- Permendiknas No. 2 Tahun 2008 Pasal 11: Melarang sekolah bertindak sebagai distributor atau pengecer buku kepada siswa.
- UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan Pasal 63 Ayat (1): Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping langsung kepada satuan pendidikan.
- PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 181a: Melarang pendidik dan tenaga kependidikan menjual buku pelajaran, LKS, seragam, atau perlengkapan lainnya di sekolah.
- Permendikbud No. 75 Tahun 2020 Pasal 12a: Menegaskan larangan praktik komersialisasi di sekolah yang dapat membebani siswa dan orang tua.
Namun, praktik ini tetap marak terjadi. Orang tua merasa terpaksa membeli LKS karena banyak tugas sekolah yang bergantung pada materi tersebut, meskipun disebut tidak wajib.
Tuntutan Transparansi dan Solusi
Kasus ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan komunikasi antara pihak sekolah, penyedia LKS, dan wali murid. Faktanya masih banyak wali murid yang mengeluh.
Dengan adanya regulasi yang tegas, diharapkan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan dapat mematuhi aturan. Kepala dinas pendidikan, guru, dan manajemen sekolah perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari praktik komersialisasi.
Pendidikan adalah hak setiap anak, dan pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada beban tambahan yang merugikan siswa dan orang tua. Dengan kolaborasi yang baik antara media, institusi pendidikan, dan masyarakat, polemik LKS diharapkan dapat diselesaikan secara adil dan transparan demi menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik. (Tim Redaksi)
Komentar